Rabu, 07 Desember 2016

IMMANUEL KANT TENTANG SUARA HATI

Etika Kant
            Munculnya konsep etika Kant sebenarnya dilatarbelakangi oleh realitas bahwa ‘pure reason’ yang menghasilkan sains tidak mampu memasuki wilayah neumena yaitu dunia ‘thing itself.’ Bagi Kant, rasio dan sains sangat terbatas dan hanya mengetahui penampakan obyek. Ketika sains mencoba untuk memasuki wilayah neumena, ia akan tersesat dan hilang dalam antinomy. Demikian juga ketika ratio mencoba memasuki wilatyah neumena, ia akan terjebak dan akan hilang dalam paralogisme. Oleh karena itu Kant berkeyakinan bahwa untuk memasuki wilayah neumena yang juga termasuk didalamnya etika dan agama maka harus menggunakan practical reason (akal praktis). Nah, dari sinilah pemikiran etika Kant muncul. Selain hal diatas ada pula konsep Kant lainnya yang menjadi titik awal dari etika Kant yaitu konsepnya tentang kebebasan (Reiheit). Kebebasan yang dimaksudkan oleh Kant disini adalah kebebasan berkehendak. Dalam hal ini kebebasan didudukan dalam posisi netral. Disini dimaksudkan jika kehendak tidak bebas, kehendak itu mendapat pengaruh dari luar diri manusia. Kebebasan ini adalah a priori dan bersifat transendental serta merupakan dasar-dasar kepribadian. Dan kebebasan ini merupakan salah satu bangunan etika Kant yang merupakan tiga postulat kategoris yang harus dipercaya kebenarannya. Dua postulat lainnya yaitu unsterblickeit (immoralitas), yang dimaksudkan adalah immoralitas jiwa yang mana berkaitan dengan kebaikan tertinggi (Summum Bonum). Jiwa harus immortal agar dapat mencapai summum bonum di dunia yang fana ini. Sedangkan ‘Das Sein Gottes’ (Eksistensi Tuhan). Tuhan adalah kebaikan tertinggi karena itu mempercayai Tuhan adalah suatu keniscayaan. Selain itu terdapat tiga prinsip mendasar dalam etika Kant yakni Universalitas, humanitas dan otonomi. Prinsip universalitas dapat dicermati konsepnya dalam imperatif kategoris. Sedangkan prinsip humanitas dimaksudkan bahwa etika Kant mendudukan manusia pada posisi yang tinggi.

Imperatif Kategoris
            Di dalam imperatif  kategoris inilah pendasaran seluruh bangunan etika Kant sehingga imperatif kategoris inilah yang merupakan produk pemikiran terpenting dalam bidang etika Kant. Bahkan dapat dikatakan bahwa inilah yang merupakan ide dasar. Secara sederhana, imperatif kategoris disimbolkan dengan “bertindaklah secara moral.” Perintah ini bukanlah mengandung perintah melainkan menunjukkan adanya suatu keharusan obyektif untuk bertindak secara moral yang datang dari dalam diri sendiri, yang tidak bersarat dan bersifat mutlak dan merupakan realisasi dari ratio (budi) praktis.
            Lalu pertanyaan kita ‘apakah perbedaan antara orang yang bertindak secara moral dan mereka yang tidak?’ Nah, disinilah peran imperatif kategoris. Selain imperatif kategoris, Kant juga menempatkan imperatif hipotesis sebagai pertentangan, sebab katanya imperatif kategoris tidak berperan sendiri atau tidak seluruhnya merupakan imperatif kategoris. Dengan kata lain imperatif kategoris tidak berdiri sendiri. Karena itulah Kant menunjuk pada dua macam tindakan ini. Pertama, imperatif hipotesis adalah tindakan yang bertolak dari “kecenderungan.” Dengan kata lain ada syarat yang diperlukan sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang lain. Apabila saya bertindak maka, saya bertindak atas selera atau pilhan saya. Contohnya malam ini saya akan menonton pertandingan final Liga Champions di TV atau belajar untuk ulangan besok. Kalau imperatif kategoris merupakan tindakan yang bertolak dari suatu “rasa kewajiban.” Artinya suatu kewajiban adalah apa yang harus dikerjakan apapun kecenderungan saya. Disini perintah itu mutlak dan berlaku sacara umum sehingga bersifat universal. Seseorang atau kelompok memerlukan kehendak baik dalam bertindak sehingga bertindak sesuai degan ketetapan-ketetapan budi dan apabila mereka melakukan hal ini maka meraka akan bertindak secara moral. Contohnya; perintah jangan berbohong. Perintah  ini mengikat semua orang dan karenanya bersifat universal. Unsur a priorinya terletak pada kehendak baik yang ada dalam perintah tersebut. Dengan kata lain kehendak baik adalah dilihat sebagai hakekat dan kehendak baik itu terletak pada perintah ‘jangan berbohong’ adalah benar-benar baik.

Suara Hati dan Imperatif Kategoris
            Untuk memahami pengertian suara hati, mari kita mulai dengan contoh: Suatu pagi, Yudo dikejutkan dengan perkataan teman-temannya bahwa hari ini mereka akan mengikuti ujian mid semester. Masalahnya adalah bahwa ia tidak siap karena tidak belajar. Padahal ia telah berjanji kepada kedua orang tuanya akan memperbaiki nilai semester lalu yang anjlok. Lantas terpikir olehnya untuk menyontek. Kris, teman sebangku Yudo melihat hal itu. lalu ditegurnyalah Yudo oleh Kris. Tatapi Kris mengutarakan masalahnya menyangkut janjinya kepada orang tua. Disini Kris bingung. Ia tidak tahu harus berbuat apa, sebab tadi sebelum ujian, pak guru sudah mengingatkan untuk menulis nama anak-anak yang menyontek pada kertas ujian jika barang siapa yang melihatnya.
Dari contoh diatas, timbul pertanyaan. Apa itu suara hati? Pada Kris suara hati menyatakan diri tentang apa yang menjadi kewajibannya berhadapan dengan masalah konkret yang dihadapinya. Secara moral kita akhirnya harus memutuskan sendiri apa yang kita lakukan. Kita tidak dapat mengatakan melemparkan tanggung jawab itu kepada orang lain. Kita tidak boleh begitu saja melihat dan membiarkan sesuatu hal yang tidak beres terjadi. Padahal kita mengetahuinya dan setiap manusia dalam hatinya memiliki suatu kesadaran tentang apa yang menjadi tangung jawab dan kewajibannya. Kita sadar apapun resikonya, dimarah atau dijauhi sebagai pelapor, kita selalu wajib untuk mengambil sikap yang menjadi kewajiban dan tangungjawab. Maka kalau dirumuskan kembali, suara hati adalah kesadaran dalam batin saya bahwa saya berkewajiban mutlak untuk selalu menghendaki bahwa saya berkewajiban mutlak untuk selalu menghendaki apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya, bahwa dari kehendak itulah tergantung kebaikan saya sebagai manusia, dan hanya saya sendirilah yang berhak untuk mengetahui kewajiban dan tanggunjawab saya itu. secara singkat dapat dikatakan demikian. Suara hati adalah kesadaran saya akan kewajiban dan tanggungjawab saya sebagai manusia dalam situasi konkrit. Berbeda dengan perintah bersyarat (imperatif hipotesis), menurut Kant, perintah bersyarat itu tuntutan moralnya bersifat tak bersyarat atau absolut. Misalnya tuntutan jangan berbohong. Berlaku bagitu saja, tanpa pengecualian. Perintah itu mutlak. Artinya tidak bersyarat. Suatu kewajiban moral berlaku entah menguntungkan atau tidak, mengenakan atau tidak, dipuji atau malah dihina, mau tidak mau harus mau. Bahwa kalau saya sudah menyadarinya sebagai suatu kewajiban maka harus saya lakukan karena kewajiban itu berlaku mutlak.
Kemutlakan tuntutan suara hati tidak berarti bahwa suara hati itu pasti betul. Suara hati pun berdasarkan pada penilaian-penilaian kita dan penilaian manusia tidak pernah seratus persen. Pegertian manusia terkadang kurang lengkap, berat sebelah atau terkadang dapat salah. Maka yang mutlak dalam suara hati adalah tuntutan untuk tidak pernah menyeleweng dari apa yang kita sadari sebagai kewajiban kita.

Refleksi Kritis Pribadi
Imperatif kategoris Kant merupakan kemutlakan yang radikal. Apabila hal ini diinterpretasikan didalam kehidupan konkret khususnya kalau berhubungan dengan suara hati akan terasa sulit. Mengapa? Karena meskipun setiap orang mendengar bisikan hati nuraninya, dia masih memiliki kemungkinan untuk dapat keliru dalam tindakannya, perkataan, dan perutusannya setiap hari. Disadari pula bahwa kesadaran itu lemah karena sering situasi batin seseorang mengalami benturan-benturan, dimana di dalam menghadapi masalah, sering terjebak di dalam suara hati yang bimbang atau ragu, kacau ataupun cemas tanpa alasan. Misalnya kita bimbang lantaran sesuatu dirasa tidak pasti di dalam tindakan, tidak tahu apa yang mau diputuskan ataupun karena kenyataan hidup tiap hati tidak mendukung. Maka hal ini akan semakin sulit karena butuh banyak pertimbangan. Mungkin dapat dicari solusinya seperti lewat doa atau meditasi atau mohon bantuan orang yang bijaksana, bekerjasama dengan orang lain, mempelajari akar masalah. Tapi apakah itu akan berhasil? Jawabannya tergantung. Tergantung pada diri kita sebagai orang yang memiliki suara hati. Ada orang yang mengatakan suara hati adalah suara Tuhan (the Voice of God) karena itu hendaknya semua tindakan manusia mengungkapkan bisikan suara Allah. Tentunya sesuai dengan hukum suara hati yaitu berbuat baik dan menghindari yang jahat.

   
DAFTAR PUSTAKA

Suseno Frans-Magnis, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Dr. Subaedei, M. Ag. P. Ad. Dkk, Filsafat Barat, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007.
Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Smith, Linda dan Reaper, William, Ide-Ide, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support