Kamis, 03 November 2016

JIWA SEBAGAI PRINSIP BAGI TUBUH

PENDAHULUAN

Pemikiran filosofis tentang jiwa sebagai prinsip badan merupakan salah satu tema sentral yang dilahirkan oleh Aristoteles dalam kaitannya dengan manusia dan eksistensinya. Menurut Aristoteles jiwa sebagai prinsip badan merupakan sumber gerak yang menjadi tujuan tertentu dan sebagai tujuan substansi yang berjiwa. Perspektif Aristoteteles mengenai jiwa sebagai prinsip badan di uraikan panjang lebar dalam bukunya yang berjudul de anima (on the soul). Pemikirannya ini akhirnya menjadi tema sentral perdebatan para filsuf sepanjang masa.

Bagi Aristoteles jiwa mempunyai arti yang lebih luas. Ia menganggap jiwa sebagai prinsip badan. Dengan demikian hal ini mengandaikan bahwa segala sesuatu yang hidup mempunyai jiwa, baik tumbuh-tumbuhan, maupun binatang-binatang dan manusia . Pemikirannya ini tidak berbeda jauh dengan teori dualisme Plato. Akan tetapi dalam de anima, ia mengemukakan pandangan yang sangat berbeda. Jiwa dan badan di anggap sebagai dua aspek yang menyangkut satu substansi saja. Dua aspek ini mempunyai hubungan satu sama lain sebagai materi dan bentuk.

Riwayat Hidup Dan Perkembangan Pemikirannya.

Aristoteles lahir di Statgira pada tahun 384 Sm, di semenanjung Trakia, Yunani utara. Ayahnya bernama Nikhomakhos yang adalah seorang dokter pribadi raja Amythas II Raja Makedonia. Mungkin sekali salam masa mudanya ia hidup di istana raja Makedonia di kota Pella dan dapat di andaikan pula bahwa ia mewarisi minatnya yang khusus dalam ilmu pengetahuan empiris dari bapaknya. Ketika berumur 18 tahun Aristoteles masuk Akademi Plato selama 20 tahun sampai gurunya Plato meninggal. Ketika Plato meninggal dunia Spiosipus mengambil alih dan mengurus akademi tersebut dan pada saat itu Aristoteteles meniggalkan akademi dan Athena. Aristoteles pergi ke Missia dan mulai mengajar di sekolah Asos. Di sini Ia menikah dengan Phytias kemenakan dan anak angkat Hermeyas. Setelah beberapa tahun tiggal di pulau Iona , pada tahun 335 SM, ia kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang kemudian di berinama Lykaion, yang kadang di sebut juga sekolah Paripatik, karena metode yang di gunakan dalam pengajaran yakni saling bertukar pikiran.

Istrinya Phitias meninggal di Athena pada tahun yang di ketahui . Perkawinan pertama di karunia anak perempuan. Lalu kemudian Aristoteles menikah lagi dengan Herphylis yang pada akhirnya juga melahirkan seorang anak yang di beri nama nikomakhos. Suatu kejadian yang sangat menggelisahkan bagi lykeon adalah dengan kematian Alexander Agung tahun 323. hal ini mengakibatkan adanya gerakan anti Makedonia dengan maksud melepaskan Athena dari Makedonia. Aristoteles di tuduh karena kedurhakaan . Akhirnya ia meletakan pimpinananya kepada muridnya Theoprasytus dan melarikan diri ke Khalkhis tempat asal ibunya. Akhirnya pada tahun 322 sm ia meninggal dunia.

Waener Jaeger (1988-1961) , adalah sarjana yang pertama kali memusatkan perhatiannya pada perkembangan dan karya-karya Aristoteles. Ia membagi perkembangan pemikiran Aristoteles dalam tiga periode. Periode pertama yaitu periode sejak Aristoteteles masuk Akademi Plato sampai tahun 347 SM. Pada periode ini pikiran-pikiran Aristoteles sangat dipengaruhi oleh filsafat Plato. Karya Plato berjudul Phaedo dan Republik sangat mempengaruhi pandangan Aristoteles tentang teori “wujud”.

Periode yang kedua yaitu 347-345 SM yaitu ketika Aristoteles tinggal di Assos. Ia berbalik mengeritik teori wujud Plato. Menurut Plato wujud atau forma harus menjadi perhatian utama pengetahuan karena bersifat universal tetap dalam dirinya sendiri. Sedangkan menurut Aristoteles wujud itu tidak eksis, terpisah dengan dunia objek fisik, tetapi eksis dalam objek-objek fisik. Wujud merupakan prinsip imanensi dalam “ yang ada yang teramati”. Selanjutnya Ia menekankan bahwa karena wujud dan materi menjadi substansi realitas maka seluruh objek harus dianalisis dalam dua konsep ini. Wujud harus selalu dipahami bersama materi.

Karya-Karya Aristoteles
  • LogikaCategoriae, De interpretatione, Analitica Priopan, Analitica Posteriori, Topica, De sophistiscis elencis
  • Filsafat Alam: Phisica: 8 buku, De caelo: 4 buku, De generatione et coruptione
  • Psikologi: De anima: 3 buku, Naturalia: 8 karangan kecil, De memoria et reminiscentia, De somo, De insominiis, De divuriatione per sumnum, De logitudune et brevitate vitae, De vita et morte, De respiratione.
  • Biologi: De partibus animalium, De moto animalium, De incesso animalium, De generatione animalium.
  • Etika: Ethicha Nicomace, Magna Moralia, Ethicha Eudemia.
  • Politik dan Ekonomi:, Politica: 8 buku, Economica: 3 buku.
  • Retorika dan Poetik: Retorica: 3 buku
JIWA SEBAGAI PRISIP BADAN
  1. Teori Hilemorfisme.
Agar lebih memahami peran jiwa atas tubuh atau relasi antara jiwa dan tubuh maka hal pertama yang harus di lakukan adalah perlu adanya pemahaman teori Hilemorfisme yang di bangun oleh Plato.

Kata Hilemorfisme sendiri berasal dari kata Yunani Hyle yang berarti materi dan Morphe yang berarti bentuk. Aristoteles melihat materi dan forma sebagai satu kesatuan yag tak dapat di pisahkan satu sama lain. Namun di lain pihak dapat di bedakan . Keduanya senantiasa melekat erat pada setiap barang karena itu menjadi unsur substansial realitas . keduanya merupakan prinsip metafisik. Jadi keberadan mereka tidak dapat di tunjuk dengan jari, tetapi harus di andaikan begitu saja supaya kita dapat mengerti adanya benda –benda jasmani.

Konsep Tentang Wujud.

Morphe adalah sesuatu yang bersifat jasmaniah. Ia sangat konkret dan dekat dengan objek. Morphe pada dasarnya adalah prinsip yang membuat suatu barang dapat di kenal sebagai ada, yang mana prinisp itu bersifat imanen. Demikianlah Aristoteles menguraikan bahwa forma atau wujud suatu benda bersifat tetap, permanen dan di kenal. oleh karena adanya barang barang bersifat tetap , maka ia membuka peluang untuk di kenal dan di indrai. Dalam Metafisika Aristoteles forma di kenal sebagai aktus yang mengaktualkan materi sebagai potensi. Apa yang adalah mungkin adalah materi di wujudnyatakan atau di sempurnakan dalam actus (forma).

Konsep Tentang Materi.

Ghyle atau materi merupakan unsur untuk menerima forma dan kemampuan untuk di bentuk, yang di bedakan atas hyle prote atau materi kedua. Materi kedua adalah badan yang kelihatan . misalnya batu, kayu, dan lain sebagainya. Materi tersebut dapat di indrai atau di jangkau melalui observasi langsung. Sedangkan materi pertama adalah sesuatu yang bukan bahan yang kelihatan , tetapi suatu prinsip dari bahan,tidak dapat di lihat, tidak berkualitas dan berkuantitas dan tidak dapat di masukan dalam kategori apapun. Materi pertama bukan ada sebagai benda tetapi hanya dapat di temukan lewat pikiran. ia sendiri mempunyai bentuk sehingga menjadi prinsip bagi segala barang. Tetapi bahwa materi pertama itu sama sekali tidak di tentukan oleh dirinya sendiri, sebab ia mempunyai kesanggupan untuk menerima forma substansial.

  1. Hubungan Antara Jiwa Dan Badan
Aristoteles memandang tubuh dan jiwa dalam satu kesatuan. Jiwa tidak mungkin terlepas dari badan atau tubuh, karena jiwa dan tubuh adalah satu seperti sepotong lilin dan bentuk yang di terima lilin itu dari materi. Di sini Aristoteles mempersamakan jiwa dan forma serta tubuh dengan materi yang tak dapat di pahami secara terpisah. Dalam uraian-uraian Aristoteles selalu di garisbawahi bahwa jiwa dan tubuh tak dapat dimengerti lepas satu sama lain, sehingga karena manusia tidak boleh di anggap sebagai penggabungan dua substansi yang dapat di pikirkan secara terpisah.

Benar bahwa Aristoteles mempersamakan jiwa dengan forma dan tubuh dengan materi, tetapi yang dimaksud adalah materi yang mempunyai kemungkinan untuk mengalami perkembangan menuju kepada kesempurnaan. Dalam arti demikian jiwa di maksud sebagai bentuk tubuh alamiah yang mempunyai potensi kehidupan.

Jiwa seakan-akan menjadikan tubuh alat untuk merealisasikan dirinya dan dengan demikian menjadikan tubuh hidup dan berdaya guna. Oleh karena itu tanpa tubuh jiwa bukan lagi jiwa yang sesungguhnya. Semua aktivitas jiwa senantiasa membutuhkan tubuh, sebaliknya tubuh membutuhkan jiwa untuk dapat merealisasikan potensialitas yang ada padanya.

  1. Jiwa Sebagai Sebab Dan Prinsip Tubuh Yang Hidup.
Jiwa sebagai sebab, di bedakan atas tiga cara yakni sebagai sumber gerak , sebagai tujuan dan sebagai substansi dari tubuh yang berjiwa.

Sumber Gerak

Jiwalah yang mengerakan tubuh, karena dialah yang pertama menghendaki gerak. Jiwa merupakan prinsip aktif yangmenguasai tubuh sebagai prinsip pasif. Jiwa adalah apa yang berada didalam gerak dan yang mempunyai kemampuan untuk mengerakan sesuatu, tetapi perlu di gariskan bahwa tidak setiap gerakan mengindikasikan adanya jiwa. Sebab ada banyak gerakan yang tidak di sebabkan oleh jiwa seperti gerakan yang disebabkan oleh angin, air dll. Oleh karena penekanan terhadap jiwa sebagai sumber gerak, tidak terlepas dari tubuh sebagai apa yang di gerakan, yang di dalamnya ada potensi untuk menerima aktus dan jiwa.

Sebagai Tujuan.

Jiwa sebagai tujuan di jelaskan dalam hubungannya dengan akhir suatu barang atau kualitas barang itu. Jiwa menjadi penyebab keberadaan yang menjadi tujuan akhir segala sesuatu yang berjiwa. Karena jiwa di mengerti sebagai forma tubuh merupakan aktus yang mengejawantahkan potensi yang ada pada setiap barang yang merupakan tujuan dalam diri barang itu. Dengan kata lain tujuan adalah akhir atau aktualitas dari barang yang ada.

Sebagai Substansi Yang Berjiwa.

Jiwa dikatakan sebagai penyebab substansi karena substansi suatu barang adalah penyebab keberadaan dan keberadaan dari barang –barang yang hidup adalah kehidupan mereka. Jiwa yang menyebabkan kehidupan karena jiwa merupakan aktualitas dari hidup yang potensial dalam tubuh.

Jadi jiwa di katakan sebagai prinsip badan karena dia adalah prinsip hidup serta substansi yang menopang badan yang menyebabkan potensi pada tubuh menjadi aktual. Dengan demikia jiwa adalah bentuk atau realisasi dari sebuah tubuh yang hidup . jiwa “dalam bentuk” atau memberi bentuk kepada materi dari suatu barang (yang hidup) dan membuatnya menjadi sebuah tubuh yang hidup.

4. Pembagian Dan Fungsi Jiwa.

Manusia merupakan kesatuan jiwa dan tubuh. Jiwa adalah enthelekhia aktus, sedangkan badan memiliki potensi kehidupan sebagai kemampuan . jiwa merupakan prinsip hidup yang dimanfaatkan potensi tubuh itu, dan dengan demikian mengaktualkan tubuh.

Adapun pembagian jiwa sebagai berikut: Jiwa vegetatif yang merupakan jiwa tumbuhan: Jiwa vegetatif menjamin kegiatan pertumbuhan serta mengatur berbagai aktivitas biologis dan reproduksi. Jiwa sensitif-motoris yang terdapat pada binatang: Jiwa sensitif motoris mengatur berbagai bentuk rasa, keinginan dan gerak. Jiwa intelektif yang adalah jiwa khas manusiawi yang membedakannya dengan makhluk lain: Dan jiwa rational yang adalah jiwa khas manusiawi menjamin tercapainya pengetahuan, keputusan dan barbagai aktivitas berpikir lainnya.

PENUTUP

Konsep Aristoteles mengenai kesatuan jiwa dan badan merupakan suatu refleksi filosofisnya terhadap manusia serta eksistensinya di dunia. Aristoteles mengikuti gurunya Plato namun pada akhirnya ia menempuh jalannya sendiri. Ia membantah konsep gurunya Plato mengenai adanya dunia ide. Ia meniggalkan sama sekali konsep dualisme Plato . Aristoteles berpendapat bahwa jiwa dan badan di anggap sebagai dua aspek yang menyangkut satu substansi saja. Dua aspek ini punya hubungan satu sama lain sabagai “materi dan bentuk”. Badan adalah materi dan jiwa adalah bentuknya, Karena materi dan bentuk masing masing mempunyai peranan sebagai potensi dan aktus. Dapat kita katakan bahwa badan adalah potensi, dan jiwa berfungsi sebagai aktus.

Menurutnya jiwa sebagai aktus pertama karena jiwa adalah aktus yang paling fundamental. Aktus ini menjadikan badan yang hidup. semua aktus yang lain merupakan aktus kedua yang di dasarkan pada aktus yang pertama tadi.
DAFTAR PUSTAKA

Aristoteles On The Soul
Bertens , K, Dr, Prof, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, Kanisius 1999.
Bagus Lorens, kamus filsafat, Jakarta Pt Gramedia Pustaka Utama, 2000
Marias Julians, History Of Filosophy ( Trans From The Spanish By Stanley Appelbaun and Clarencce, c. Strowbridge) New York dover 1966.
Peursen , van c.a. Tubuh, Jiwa, Roh. Di terj. Oleh K. bertens, Jakarta PT Bapak Gunung Mulia 1993.
Sutrisno Mudji ,Fx, dan Hadiman Budiman (ed), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta, Kanisius 1992
Siswanto Joko, Dra, M. Hum, Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles Sampai Derida, Yogyakarta Pustaka Pelajar Offset, 1988.
Weij, Der Van, Pa, Dr, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Terj. Oleh K. Bertens, Yogyakarta Kanisius, 2000.
Share:

Eksistensi Manusia: Menjadi Pribadi Sempurna

Filsafat Eksistensial Soren Aabye Kierkegaard

Riwayat Hidup Soren Kierkegaard

Soren Aabye Kierkegaard dilahirkan pada 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Saat ia dilahirkan, ayahnya, Mikhael Kierkegaard, sudah berusia 51 tahun. Ayahnya adalah seorang yang sangat saleh. Ia yakin bahwa ia telah dikutuk Tuhan, karena itu ia percaya bahwa tak satu pun dari anak-anaknya akan mencapai umur melebihi Yesus Kristus. Ia percaya bahawa dosa-dosa pribadinya, seperti misalnya mengutuki nama Allah di masa mudanya dan kemungkinana juga menghamili ibu Kierkegaard di luar nikah, menyebabkan ia layak menerima hukuman ini. Meskipun banyak dari ketujuh anaknya meninggal dalam usia muda, ramalannya tidak terbukti ketika dua dari tujuh anak-anaknya melewati usia ini. Perkenalan dengan pemahaman tentang dosa di masa mudanya dan hubungannya dari ayah dan anak meletakkan dasar banyak bagi karya Kierkegaard (khususnya takut dan gentar). Meskipun sifat ayahnya kadang melankolis dari segi keagamaan, Kierkegaard mempunyai hubungan yang erat dengan ayahnya. Ia belajar memanfaatkan ranah imajinasinya melalui serangkaian latihan dan permainan yang mereka mainkan bersama. Ayah Kierkegaard meninggal pada 9 Agustus 1838 pada usia 82 tahun. Sebelum meninggal ia meminta Soren agar menjadi pendeta. Soren sangat terpengaruh oleh pengalaman keagamaan dan kehidupan ayahnya dan terus merasa terbeban untuk memenuhi kehendak ayahnya.

Di Kopenhagen, saat Kierkegaard lahir, pengaruh nasionalis Kant dan Hegel mendominasi Gereja Lutheran secara mutlak, yang pada gilirannya mendominasi segenap hidup bangsa Belanda. Selain dari perjalanan singkatnya ke Jerman semasa muda, Kierkegaard menghabiskan seluruh hidupnya di Denmark dan memerangi pengaruh rasionalis dari kedua filsuf besar Jerman dan mencurahkan hidupnya pada perannya sebagai pengganggu Sokratis di kalangan kutu busuk yang bebas dan puas diri, yakni kaum borjuis Lutheran.

Pada tahun 1830, Kierkegaard masuk ke fakultas Teologi Universitas Kopenhagen. Motif masuk teologi adalah untuk menyenangkan ayahnya. Karena itu ia sebenarnya tidak meminati ilmu ini, dan sebagai mahasiswa ia malah mempelajari filsafat, kesusastraan dan sejarah. Dalam masa ini dia mengambil sikap sebagai seorang penonton kehidupan yang sinis. Keyakinan yang diwarisi dari ayahnya masih dianut, yakni bahwa kehidupannya adalah untuk menjalani hukuman Allah yang ditimpakan kepada keluarganya. Sementara itu, perlahan-lahan ia mulai mengambil jarak terhadap keyakinan itu dan melancarkan kritik-kritiknya atas agama Kristen. Sikap kritsnya ini membawanya kepada sikap tidak percaya, lalu dia kehilangan kepercayaannya pada patokan-patokan moral, sampai pad atahun 1836, dia sempat mencoba bunuh diri. Keadaan ini dapat diatasinya, dan pada tahun 1838, setelah ayahnya meninggal, dia mengalami sebuah pertobatan religius. Dia berhasil menyelesaikan studi teologinya. Ia lulus pada 20 Oktober 1841 dengan gelar Magistri Artium, yang kini setara dengan Ph.D.

Sebuah aspek penting dari kehidupan Kierkegaard (biasanya dianggap mempunyai pengaruh besar dalam karyanya) adalah pertunangannya dengan Regine Olsen. Pada 8 September 1840, Kierkegaard resmi meminang Regine. Namun, Kierkegaard segera merasa kecewa dan melankolis tentang pernikahannya. Setelah pergumulan yang lama, ia menjadi yakin bahwa dirinya tidak cocok untuk kehidupan rumah tangga dan menyadari dirinya sebagai seorang manusia dengan misi khusus. Dalam perkawinan orang harus terbuka satu sama lain, pada manurut Kierkegaard ada hal-hal yang sangat intim yang tidak bisa diungkapkan kepada pasangan, maka ia membatalkan rencana perkawinannya itu. Judul karyanya Either Or, sebenarnya menyatakan sikap hidupnya (atau..atau…). Dalam sisa hidupnya, dia tetap mengambil sikap kritis dan bahkan melancarkan serangan frontal terhadap agama Kristen di Denmark yang baginya tidak autentik menampilkan iman Kristiani.

 Latar Belakang Pemikiran Soren Kierkegaard

Cetusan eksistensialisme yang digaungkan Soren Kierkegaard bertitik tolak dari bangunan filsafat idealisme Jerman. Eksistensialisme merupakan suatu gugatan terhadap filsafat idealisme yang cenderung menguniversalkan persoalan realitas. Dan mengabaikan eksistensi individu. Dalam perjalanan karier filsafatnya, Kierkegaard sebenarnya mengagumi idelaisme Hegel, karena Hegel dengan Idealismenya mampu menjawab persoalan yang sangat mendalam dengan jawaban yang sangat mendalam dan menyeluruh tentang sejarah umat manusia, yang pada waktu itu sama sekali baru (jawaban Hegel yakni Idealisme).

Tetapi perjalanan hidup Kierkegaard yang pahit dan tragis, pada akhirnya membawanya pada kesadaran akan pentingnya mencari jawaban atas persoalan-persoalan hidup yang lebih konkret dan factual, yang dialami dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap manusia. Persoalan-persoalan seperti; kesenangan, kebebasan, kecemasan, penderitaan, kebahagiaan, kesepian, harapan, dan sebagainya adalah persoalan hidup yang harus dicari jawaban atau maknanya. Persoalan seperti itu tidak mungkin dapat diterangkan oleh ---atau dapat dijelaskan dalam kerangka pemikiran--- Hegel. Idalisme Hegel terlampau abstrak, “tidak menapak ke bawah”, melupakan kehidupan manusia dalam kesehariannya. Kehidupan konkret dan factual manusia serta permasalahannya yang mengemuka, luput dari jangkauan idealisme Hegel.

Kierkegaard bahkan melihat Hegelianisme merupakan ancaman besar terhadap individu, karena individu dilihat tidak lebih dari sekedar titik atau percikan dalam sejarah. Sehingga Kierkegaard hadir dengan epistemologinya untuk mendobrak “abstraksionisme” Hegel yang memutlakan Idea abstrak atau Roh sebagai kenyataan. Bagi Kierkegaard, Hegel mereduksi personalitas atau eksistensi manusia yang konkrit ke dalam realitas yang abstrak. Padahal menurutnya, manusia tidak pernah hidup sebagai “Aku umum” tetapi “Aku Individual” dan tidak diasalkan kepada yang lain. Hanya manusia yang bereksistensi. Eksistensi bukanlah suatu “ada” yang statis, melainkan suatu “menjadi” yang di dalamnya terkandung suatu perpindahan yaitu dari “kemungkinan” ke “kenyataan”.

Eksistensi Manusia menjadi Pribadi Sempurna Kierkegaard

Kierkegaard adalah filsuf pertama yang memperkenalkan istilah “eksistensi” menurut pengertian yang dipakai di abad ke-20 dalam aliran yang disebut eksistensialisme. Konsep eksistensi ini sebagai bentuk negasi asumsi Hegelian bahwa kebenaran adalah totalitas obyektif, sementara bagi Kierkegaard, kebenaran adalah individu yang bereksistensi. Dalam The Point of View, dia menegaskan: “kawanan-- bukan kawanan ini atau itu, kawanan yang sekarang masih hidup atau yang sudah mati, kawanan bangsa yang ternista atau terunggul, bangsa yang kaya atau miskin, dstnya. Kawanan dalam pengertian ini adalah ketidakbenaran, dengan alasan bahwa kawanan itu membuat individu sama sekali tak bersalah dan tak bertanggung jawab. Atau sekurang-kurangnya memperlemah rasa tanggung jawabnya dengan merduksinya ke dalam sebuah kelompok”.

Istilah “eksistensi” hanya dapat diterapkan pada manusia, atau lebih tepat lagi pada individu konkret. Hanya aku yang konkret ini yang bereksistensi, maka aku tidak bisa direduksi ke realitas-realitas lain, entah system ekonomi, Idea, masyarakat, dll. Bereksistensi bukan berarti hidup menurut pola-pola abstrak dan mekanis melainkan terus-menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal dan subjektif. Hanya aku konkret yang bisa mengambil keputusan eksistensial itu, dan tidak ada orang lain yang dapat menggantikan tempatku untuk bereksistensi. Dengan kata lain, eksistensi adalah “diri autentik”.

Manusia itu “eksistensi”. Bereksistensi bagi Kierkegaard adalah merealisasikan diri, mengikat diri dengan bebas, mempraktekkan keyakinannya, dan mengisi kebebasannya. Menurut Kierkegaard, pertama-pertama yang penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksitensinya sendiri. Eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang dilakukan tiap orang bagi dirinya sendiri; berani mengambil keputusan yang menentukan hidup. Adapun tahapan eksistensi menurut Kierkegaard adalah, sbb:

  • Tahap Estetis
Pada tingkatan ini, sorang manusia berkelakuan menurut gerak hati (impulses) dan emosi atau perasaan-perasaan. Manusia dikuasai oleh naluri-naluri seksual (libido), oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistic, dan biasanya bertindak menurut suasana hati. Manusia model ini tidak mempunyai komitmen dan keterlibatan apapun dalam hidupnya. Ia tidak mempunyai passion dalam menyikapi dan menindaklanjuti suatu persoalan. Jika manusia hidup secara hedonis dan tidak mempunyai passion atau antusiasme dan keterlibatan, lalu apa yang sebenarnya terjadi dalam jiwa mereka? Keputusasaan! Manuisa ini tidak mempunyai pegangan yang pasti dan niscaya, yang bisa dijadikan sebagai tambatan yang kokoh dalam menjalankan hidupnya. Tidak ada cinta, dan tidak ada ketertarikan untuk mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Manusia estetis juga adalah manusia yang hidup tanpa jiwa. Manusia estetis mengetahui tiadanya standar-standar moral universal. Ia tidak memiliki iman agama yang khusus. Motivasi utamanya ialah hasrat atau keinginan untuk menikmati bermacam-macam kesenangan menurut perasaan. Manusia bisa tetap eksis pada tingkatan ini karena ia dengan sengaja telah memilih estetis. Atau ia mau maju ke level yang baru, melalui suatu transisi di mana hal ini tidak dapat ditempuh dengan berpikir saja tetapi harus dengan perbuatan keputusan atau dengan suatu tindakan juga dengan suatu komitmen.

  • Tahap Etis
Individu mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri padanya. Orang mulai menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Di dalam tahap ini sudah ada passion dalam menjalani kehidupan ini berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang dipilihnya secara bebas. Hidup manusia etis bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Akar kehidupannya ada dalam dirinya sendiri dan pedoman hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Ia akan menolak segala kuasa di luar dirinya yang tidak sesuai dengan prinsip yang dipegang dirinya. Peran individu dan otonomitas sangat dihargainya. Ia akan menerima kebenaran sejauh sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dipegangnya. Dan bagi Kierkegaard, orang yang hidup pada level ini masih belum sempurna. Realiatas tempat ia menceburkan diri adalah baru realitas mundane, realitas fana. Sehingga sesungguhnya ia masih harus melalui satu tahap terakhir yang paling sempurna, yakni tahap religius.

  • Tahap Religius
Keotentikan manusia sebagai subjek atau “aku” baru akan tercapai kalau individu, dengan “mata tertutup”, lompat dan meleburkan diri dalam realitas Tuhan. Lompatan ini memang lebih sulit dari pada lompatan dari tahap estetis menuju tahap etis. Alasan utama dari kesulitan yang ada adalah tidak diperlukan pertimbangan rational. Yang diperlukan dan merupakan hal yang paling utama dalam melakukan lompatan ini adalah pertimbangan yang sangat subjektif, yakni dengan iman. Hanya manusia yang memiliki iman yang mampu untuk memasuki tahap ini. Tetapi justru hal inilah yang menurut Kierkegaard, manusia menjadi manusia dan berada sebagai “ada” yang sesungguhnya, yang berbeda dengan keberadaan “ada-ada” yang lain. Saat manusia hidup dalam realitas subjektif transenden ini, dia akan hidup hanya mengikuti jalan Tuhan dan tidak lagi terikat pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal (tahap etis) maupun pada tuntutan pribadi yang mengikuti tuntutan zaman (tahap estetis). Orang yang memilih untuk percaya akan tunduk, secara terus menerus, secara akrab ada dalam kehadiran suatu personal yang mahakuasa, mahatahu. Yang lebih penting dari apa yang dipercaya adalah bagaimana itu dipercaya- yakni dengan sepenuh hati, dengan “ketakutan dan gemetaran”.

Kesimpulan

Filsafat bergerak dari suatu konteks. Kierkegaard sebagai seorang filsuf eksistensial sekaligus pencetus aliran Eksistensialisme dalam sejarah refleksi filosofis berargumen untuk melawan abraksionisme Hegel dengan membawa kembali pemikiran tentang manusia “ke bumi”.

Selama filsafat Hegelian masih berkuasa, dengan pandangan sejarahnya yang panjang dan konsepnya tentang “Roh” yang mencakup segala-galanya- sebagai “seorang pemikir abstrak” yang benar-benar mengabaikan “individu yang sedang berada dan bersifat etis”. Kemanusiaan manusia sebagai yang berada real, nyata, dan subyektif sangat terabaikan. Kierkegaard menegaskan perhatian yang sepenuhnya pada individualitas yang dialami manusia dalam situasi konkret kehidupannya.

Setiap individu dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa ia ada, ada yang konkret, riil, dan mempunyai kewajiban personal menghayati adanya dalam dunia secara sadar dan tidak melihat semuanya secara abstrak dan umum. Dalam pemikiran Kierkegaard, hal yang sangat ditekankan adalah manusia sebagai “aku” yang ada, berada secara konkrit dan eksistensial.

Dalam pemikiran Kierkegaard tidak ada pereduksian kemanusiaan ke dalam sesuatu yang abstrak dan tidak nyata. Dunia “roh” angan-angan Hegelianisme membutakan manusia dalam keberadaaannya. Manusia tidak menjadi diri yang sesungguhnya. Manusia dan kemanusiaannya hanya tersembunyikan dalam dunia yang asing bagi dirinya. Dapat pula dikatakan di sini bahwa dalam filsafat roh Hegel, manusia teralienasi dari dunianya, dirinya, kemanusiaannya yang pada akhirnya manusia tidak mengenal dirinya sendiri.

REFERENSI:

Budi Hardiman, Filsafat Modern (Dari Machiavelli sampai Nietzsche), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004)
Soren Kierkegaard, Journals, dalam http: //id. Wikipedia. Org/ Wiki/ Soren Kierkegaard# Cite-ref-Creegan-3-1
Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003)
Zainal Abidin, Filsafat Manusia, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000)
http: //id. Wikipedia. Org/ Wiki/ Soren Kierkegaard
Harry Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983)
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980)
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support