Sabtu, 08 Oktober 2016

JÜRGEN HABERMAS TENTANG DEMOKRASI DALAM MASYARAKAT MODERN

Catatan Awal
Habermas adalah seorang filsuf Jerman yang berasal dari mazhab Frankfurt. Ia adalah direktur Institut Penelitian Sosial (Institut Fűr sozialfurschung) yang didirikan pada tahun 1923. Ia adalah seorang filsuf yang menampilkan diri  sebagai sosok pemikir yang radikal dan kritis dalam bidang sosial  daripada dalam bidang hukum dan politik.
Namun pada tahun 1992 terbitlah buku yang berjudul Faktizität Und Geltung (Fakta Dan Kesahihan), Ia menampilkan diri sebagai seorang yang pragmatis. Apa yang mendasari perubahan fokus dalam pemikiran Habermas? Bagi Habermas demokrasi telah menjadi suatu tema yang penting, setidaknya di Jerman sehingga ketegangan antara ekonomi kapitalis dan demokrasi sosial  semakin merada. Dengan demikian Habermas mulai menerapkan teori kritisnya dalam konteks demokrasi masyarakat majemuk dalam era globalisasi. Dengan pemikiran demokrasi deliberatifnya Habermas ingin memacarkan gerakan diskursus publik di berbagai bidang sosial, politis, dan kultural  untuk meningkatkan partisipasi demokrasi warga Negara.
Dalam bukunya The Theory of Communicative Action (1980)  Habermas menyatakan setiap tindakan bicara jika digugat, menuntut pembicara memberikan alasan  atau “menyelamatkanya”. Suatu bentuk keabsahan secara implisit terdapat di dalam struktur pembicaraan itu sendiri. Suatu premis yang membawanya untuk menyimpulkan bahwa rasionalitas menyiapkan baik struktur maupun jangkauan komunikasi. Argumen yang krusial ialah bahwa setiap kali kita berkomunikasi, yang seorang kepada yang lain, kita secara otomatis mengakui kemungkinan suatu persetujuan dialogis yang dicapai secara bebas, yang di dalamnya argumen yang lebih baik akan menang.
Aksi komunikasi bagi Habermas merupakan nama lain untuk endapan rasionalitas yang terbentuk di dalam kegiatan tukar menukar kita setiap hari. Aksi komunikatif “bermaksud membawa ke tempat terbuka potensi rasional yang intrinsik di dalam praktik-praktik komunikasi setipa hari. Aksi tersebut berfungsi lebih dari bawah ke atas ketimbang dari atas ke bawah”.
Aksi komunikatif ini pun dimodifikasi ke dalam lingkungan publik secara substansial. Ruang publik sebagai arena para partisipan berdebat tentang posisi-posisi mereka yang telah dirumuskan. Ruang publik menjadi kerangka tempat individu dengan prinsip-prinsip dan kepercayaan moral mereka muncul  dalam respon kepada teman bicara dalam komunikatif. Ini berbeda dengan imperatif kategoris Kant yang menyatakan seorang berusaha mengidentifikasi prinsip-prinsip yang begitu rupa sehingga setiap manusia yang lain akan memilih bertindak menurut prinsip itu. Dan Habermas sendiri menyatakan mengidentifikasi kebebasan untuk setuju atau tidak setuju atas dasar argumen yang kuat sebagai ciri formal rasionalitas maupun prinsip pendasar demokrasi. Jadi komunikasi dalam ruang publik merupakan dasar demokrasi karena dalam ruang publik setiap orang berargumen mennggunakan rasio dan berusaha untuk mencapai konsensus bersama atas sebuah kebenaran berdasarkan argumen yang  kuat.
Dalam menata pemikirannya tentang Demokrasi Deliberatif Habermas dipengaruhi oleh Locke dan Rousseau. Dalam ajarannya tentang Negara Locke mendasari filsafatnya pada analisis tentang perkembangan keadaan masyarakat. Karena itu, secara garis besar perkembangan keadaan masyarakat itu dapat dibagi pada tiga keadaan: Pertama, keadaan alamiah. Dalam keadaan ini manusia berada dalam keadaan harmonis yang ditandai dengan kebebasan dan kesamaan hak semua manusia. Manusia dengan bebas menentukan dirinya dan menggunakan apa yang dimiliki dirinya tanpa bergantung pada orang lain, dan orang tidak bertindak semau  sendiri  melainkan hidup berdasarkan ketentuan kodrat yang telah diberikan Tuhan demi kelangsungan alam ciptaan. Hukum kodrat dari Tuhan itu melarang siapa  pun untuk merusak atau memusnakan kehidupan, kebebasan, dan harta milik orang lain. Kebebasan dan hak milik itu merupakan “hak-hak yang tidak bisa diabaikan” (inalienable rights). Kedua,  keadaan perang. Dalam keadaan ini orang mulai saling dengki dan benci serta bermusuhan. Penyebabnya adalah penciptaan uang. Ketiga, persemakmuran. Di sini Locke menyatakan bahwa masyarakat yang telah dikuasai oleh ekonomi uang haruslah membuat kesepakatan untuk menjamin hak milik pribadi. Di sini masyarakat bersama-sama membentuk “masyarakat politik atau sipil”. Dan ini dinamakan persemakmuran (Common Wealth).
Ada dua implikasi penting yaitu kekuasaan Negara pada dasarnya adalah terbatasa dan tidak mutlak. Dan yang kedua tujuan pembentukan Negara adalah untuk menjamin hak-hak asasi warganya terutama hak warga atas harta pribadinya. Tetapi selanjutnya, bagaimana caranya untuk mengatasi supaya Negara tidak sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya?
Rousseau melihat  Negara dan hukum sebagai cerminan dari kehendak umum yang ada di benak rakyat. Pemikiran ini disebut republikanisme. Dalam kontelasi pemikiran ini, Negara tidak dapat mantap kalau hanya berfungsi sebagai ‘pesuruh’. Dengan kata lain Negara juga memiliki hak untuk meminta dedikasi dan partisipasi dari warganya. Bagi Rousseau inti kedaulatan rakyat mengatakan bahwa semua manusia memiliki kesamaan martabat, sehingga mereka juga punya hak yang sama. Tidak boleh ada pihak mana pun juga merasa berhak untuk memerintah pihak lain tanpa adanya persetujuan atau kesepakatan bersama. Hanya yang kita pilih dan kita tentukan sendiri yang berhak memerintah atas diri kita.

Demokrasi Deliberatif Dalam Masyarakat Modern
Pandangan Tentang Negara dan Hukum
Sejak dari Aristoteles sampai Hegel Negara dibayangkan sebagai pusat sebuah masyarakat yang bertindak dengan kedaulatannya sebagai suatu subjek besar. Habermas berpendapat bahwa gambaran klasik ini tidak lagi dapat dipertahankan dalam masyarakat kompleks yang terglobalisasi dewasa ini. Globalisasi ekonomi pasar dan informasi menerjang batas-baatas Negara nasional, sementara liberalisasi politik dan ekonomi telah menghasilkan pluralisasi gaya hidup dan orientasi-orientasi nilai di dalam Negara itu. Negara kini bukan satu-satunya pusat kedaulatan tetapi ‘hanyalah’ salah satu pusat masyarakat kompleks. Negara harus dibayangkan bukan sebagai substansi kekuasaan yang mengatasi seluruh masyarakat , melainkan sebagai salah satu komponen sistem sosial yang berdiri sejajar dengan satu komponen sistemis lain yakni ekonomi kapitalis. Dan keduanya sebagai sistem sosial yang berakar pada Lebenswelt (dunia – kehidupan).
Masyarakat itu terdiri dari  berbagai kelompok dengan pluralisme gaya hidup dan aneka orientasi nilai multikultural yang tidak bisa direduksi pada Negara sebagai satu-satunya orientasi loyalitas. Jadi untuk memahaminya Habermas menawarkan satu solusi yaitu masyarakat kompleks dipandang sebagai jaringan-jaringan sosial.
Karena dipandang sebagai jaringan-jaringan sosial  maka Negara dan masyarakat itu haruslah terbentuk lewat komunikasi. Komunikasi itu bagi Habermas adalah faktor integratif masyarakat kompleks. Komunikasi atau yang dapat disebut rasio komunikatif yang bekerja dalam setiap aktor sosial. Ia menjadi organizing principle masyarakat kompleks.
Kemudian Habermas menyatakan apakah elemen komunikatif dalam masyarakat kompleks itu bisa merekatkan Negara, pasar, dan masyarakat? Habermas menyatakan bahwa bisa direkatkan yaitu dengan hukum. Hukum itu sebagai sabuk pengaman terakhir bagi integritas sosial. Dan konsep hukum pun di paham  dalam konteks teori komunikasi. Hukum itu sebagai engsel yang menghubungkan antara system dan Lebenswelt yakni antara pasar dan Negara dan juga masyarakat luas. Hukum itu membuka ruang bagi tindakan-tindakan strategis sehingga hukum memang dapat dipakai sebagai alat paksa. Dan hukum pun harus dihasilkan dengan konsensus rasional. Hukum itu semacam jembatan antara tindakan strategis dan tindakan komunikatif. Dengan demikian hukum menawarkan tips praktis untuk hidup secara damai. Orang cukup melihat hukum sebagai standar tindakannya maka mekanisme sosial terutama dalam masyarakat majemuk yang kompleks   dan plural akan berjalan lancar.
Pandangan Tentang Demokrasi Deliberatif
Demokrasi menurut Habermas  harus memiliki dimensi deliberatif. Proses deliberatif terjadi jika suatu kebijakan publik yang akan disahkan harus dimurnikan dahulu dalam konteks diskursus publik. Demokrasi deliberatif ingin membuka ruang yang lebar bagi partisipasi warga Negara. Hal ini merupakan suatu upaya untuk semakin mendekat menuju cita-cita demokrasi itu sendiri, yakni pemerintah oleh diperintah.
Demokrasi deliberatif adalah suatu proseduralis manusia dalam politik dan hukum. Legitimasi terletak bukan pada fakta bahwa masyarakat mayoritas telah diraih melainkan pada fakta bahwa cara-cara meraihnya fair dan adil. Jadi, demokrasi deliberatif adalah suatu proses perolehan legitimasi  melalui diskursivitas.
Seberapa berbedakah teori ini dengan praktek Negara hukum modern? Pada intinya deliberatif ini ‘hanya’ meradikalkan  praktek Negara hukum  yang sudah ada dengan prosedur demokrasi. Dimana ditilik berdasarkan teori diskursus yang menuntut peningkatan gerakan diskursus publik dalam praktek Negara hukum. Demokrasi deliberatif itu sebagai upaya untuk menemukan “titik-titik sambung komunikatif” di antara Negara, pasar, dan masyarakat yang selama ini terblokade oleh kepentingan-kepentingan elite.
Filsafat politik Habermas berusaha mempertemukan antara konsep klasik kedaulatan rakyat dengan etika diskursus. Baginya, kedaulatan rakyat janganlah dibayangkan absolut sehingga rakyat menentukan segalanya. Kedaulatan rakyat cukuplah dibayangkan sebagai kontrol atas pemerintah melalui ruang publik politis. Jadi yang mau ditawarkan oleh Habermas adalah demokrasi perwakilan  yang diperkuat dengan vitalitas ruang publik dan bukan demokrasi langsung.
Ruang Publik Politik Bagi Demokrasi Deliberatif
            Ruang publik dan demokrasi deliberatif itu saling membutuhkan. Ruang publik itu berfungsi untuk merangkum semua aspirasi rakyat. Dan demokrasi yang bersifat deliberatif itu  adalah suatu demokrasi yang mau berkonsultasi antara yang memerintah dengan yang diperintah sebelum membuat suatu kebijakan. Dan konsultasi itu terjadi dalam ruang publik.                          
Ruang publik itu dibayangkan sebagai jembatan yang menghubungkan  antara kepentingan   privat dan kepentingan umum. Ruang publik berupaya  menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda itu agar mampu mempertemukan dan berdiskursus guna mencapai konsensus bersama. Dan Habermas menyatakan ruang publik itu masih berkaitan dengan kehidupan-kehidupan lokal, yang para pesertanya secara fisik hadir. Semakin para partisipan itu melepaskan dirinya dari kehadiran dengan konsep fisik dan melebarkan dirinya pada kehadirannya yang menyangkut banyak partisipan semakin jelas pola-pola abstraksi yang memasuki struktur-struktur ruang yang semakin melebarkan panggung ruang publik. Jadi di sini kita diharapkan untuk tidak memaksakan kepentingan pribadi kita. Yang diutamakan adalah kepentingan bersama.
Ruang publik yang sehat haruslah memenuhi dua syarat ini yaitu bebas dan kritis. Bebas artinya setiap pihak dapat berbicara di mana pun, berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politis. Kritis artinya siap dan mampu secara adil dan bertanggung jawab menyoroti proses-proses pengambilan keputusan yang bersifat publik.
Habermas menyatakan opini yang lahir dalam dinamika ruang publik akan memainkan peranannya untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam struktur hukum politik yang sudah mapan. Dan ruang publik digunakan untuk mengawasi bagaimana sistem politik menangani persoalan-persoalan sosial yang eksis dalam masyarakat. Jadi ruang publik itu dipandang sangat penting bagi suatu Negara demokrasi. Karena  di sana kita dapat melihat  bahwa masyarakat itu sebagai pengontrol atas pemerintah. Dan  di sana pula kita bisa membatasi kesewenangan pemerintah.

Catatan Akhir
Demokrasi yang bersifat deliberatif yang ditawarkan oleh Habermas ini adalah merupakan sebuah langkah maju dalam sistem kehidupan Negara. Negara tidak bergerak ‘seolah-olah’ tapi bergerak melalui keinginan rakyatnya karena adanya ruang publik itu. Dan inilah demokrasi yang .sesungguhnya, pemerintah dari rakyat dan untuk rakyat.
Namun, apa yang ditawarkan oleh Habermas ini mengandaikan bahwa Negara tersebut sudah maju dalam bidang ekonomi dan pendidikan serta politik.  Jadi Negara yang masih berkembang diharapkan untuk tidak menerapkan sistem  demokrasi seperti ini. Mengapa? Karena hanya mengaburkan demokrasi itu sendiri dan akan membuat suatu Negara menjadi Negara tirani.
Demokrasi delibertif adalah suatu proses perolehan legitimasi melalui diskursivitas. Demokrasi deliberatif memberikan sorotan tajam mengenai bagaimana prosedur hukum itu di bentuk. Undang-undang, yang diresmikan dalam demokrasi deliberatif, merupakan suatu dialog antara mekanisme legislatif dengan diskursus-diskursus baik formal maupun informal dalam dinamika masyarakat sipil. Demokrasi deliberatif memberikan semacam ruang di luar kekuasaan administratif Negara dan kekuasaan ekonomi korporasi-korporasi nasional maupun internasional. Ruang itu adalah kekuasaan komunikatif melalui jaringan-jaringan komunikasi publik dalam masyarakat sipil. Karena semakin masyarakat diikutsertakan dalam ruang publik politis maka kita semakin mendekati demokrasi yang sesungguhnya yaitu pemerintah dari rakyat dan untuk rakyat.

PUSTAKA:
Bakker, Antonius, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Bertens, K, Filsafat Barat Kontemporer Inggris – JermanYogyakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Hardiman, F. Budi, Filsafat Fragmentasi, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Seran, Alexander, Moral Politik HukumJakarta: Obor, 1999.
Suseno, Frans Magnis, 12 Tokoh Etika Abad ke – 20, Yoyakarta: Kanisius, 2000.
Santoso, Lisyanto, dkk., Epitemologi Kiri, Yogyakarta: AR- RUZZ, 2003.
Taryadi, Alfons, Filsafat Dalam Masa Teror: Dialog Dengan Jűrgen Habermas Dan Jacques DerridaJakarta: Buku Kompas,2005.
Wattimena, A.A, Reza, Melampaui Negara Hukum Klasik Locke – Rousseau – HabermasYogyakarta: Kanisius, 2007.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support