Etika Kant
Munculnya
konsep etika Kant sebenarnya dilatarbelakangi oleh realitas bahwa ‘pure reason’
yang menghasilkan sains tidak mampu memasuki wilayah neumena yaitu dunia ‘thing
itself.’ Bagi Kant, rasio dan sains sangat terbatas dan hanya mengetahui
penampakan obyek. Ketika sains mencoba untuk memasuki wilayah neumena, ia akan
tersesat dan hilang dalam antinomy.
Demikian juga ketika ratio mencoba memasuki wilatyah neumena, ia akan terjebak
dan akan hilang dalam paralogisme. Oleh karena itu Kant berkeyakinan bahwa
untuk memasuki wilayah neumena yang juga termasuk didalamnya etika dan agama
maka harus menggunakan practical reason (akal praktis). Nah,
dari sinilah pemikiran etika Kant muncul. Selain hal diatas ada pula konsep
Kant lainnya yang menjadi titik awal dari etika Kant yaitu konsepnya tentang
kebebasan (Reiheit). Kebebasan yang dimaksudkan oleh Kant disini adalah
kebebasan berkehendak. Dalam hal ini kebebasan didudukan dalam posisi netral. Disini
dimaksudkan jika kehendak tidak bebas, kehendak itu mendapat pengaruh dari luar
diri manusia. Kebebasan ini adalah a
priori dan bersifat transendental serta merupakan dasar-dasar kepribadian.
Dan kebebasan ini merupakan salah satu bangunan etika Kant yang merupakan tiga
postulat kategoris yang harus dipercaya kebenarannya. Dua postulat lainnya
yaitu unsterblickeit (immoralitas),
yang dimaksudkan adalah immoralitas jiwa yang mana berkaitan dengan kebaikan
tertinggi (Summum Bonum). Jiwa harus immortal agar dapat mencapai summum bonum
di dunia yang fana ini. Sedangkan ‘Das Sein Gottes’ (Eksistensi Tuhan). Tuhan adalah
kebaikan tertinggi karena itu mempercayai Tuhan adalah suatu keniscayaan.
Selain itu terdapat tiga prinsip mendasar dalam etika Kant yakni Universalitas,
humanitas dan otonomi. Prinsip universalitas dapat dicermati konsepnya dalam
imperatif kategoris. Sedangkan prinsip humanitas dimaksudkan bahwa etika Kant
mendudukan manusia pada posisi yang tinggi.
Imperatif Kategoris
Di dalam
imperatif kategoris inilah pendasaran
seluruh bangunan etika Kant sehingga imperatif kategoris inilah yang merupakan
produk pemikiran terpenting dalam bidang etika Kant. Bahkan dapat dikatakan
bahwa inilah yang merupakan ide dasar. Secara sederhana, imperatif kategoris
disimbolkan dengan “bertindaklah secara moral.” Perintah ini bukanlah
mengandung perintah melainkan menunjukkan adanya suatu keharusan obyektif untuk
bertindak secara moral yang datang dari dalam diri sendiri, yang tidak bersarat
dan bersifat mutlak dan merupakan realisasi dari ratio (budi) praktis.
Lalu
pertanyaan kita ‘apakah perbedaan antara orang yang bertindak secara moral dan
mereka yang tidak?’ Nah, disinilah peran imperatif kategoris. Selain imperatif
kategoris, Kant juga menempatkan imperatif hipotesis sebagai pertentangan,
sebab katanya imperatif kategoris tidak berperan sendiri atau tidak seluruhnya
merupakan imperatif kategoris. Dengan kata lain imperatif kategoris tidak berdiri
sendiri. Karena itulah Kant menunjuk pada dua macam tindakan ini. Pertama,
imperatif hipotesis adalah tindakan yang bertolak dari “kecenderungan.” Dengan
kata lain ada syarat yang diperlukan sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang
lain. Apabila
saya bertindak maka, saya bertindak atas selera atau pilhan saya. Contohnya
malam ini saya akan menonton pertandingan final Liga Champions di TV atau
belajar untuk ulangan besok. Kalau imperatif kategoris merupakan tindakan yang
bertolak dari suatu “rasa kewajiban.” Artinya suatu kewajiban adalah apa yang
harus dikerjakan apapun kecenderungan saya. Disini perintah itu mutlak dan
berlaku sacara umum sehingga bersifat universal. Seseorang atau kelompok
memerlukan kehendak baik dalam bertindak sehingga bertindak sesuai degan
ketetapan-ketetapan budi dan apabila mereka melakukan hal ini maka meraka akan bertindak
secara moral. Contohnya; perintah jangan berbohong. Perintah ini mengikat semua orang dan karenanya bersifat
universal. Unsur a priorinya terletak pada kehendak baik yang ada dalam
perintah tersebut. Dengan kata lain kehendak baik adalah dilihat sebagai
hakekat dan kehendak baik itu terletak pada perintah ‘jangan berbohong’ adalah
benar-benar baik.
Suara Hati dan Imperatif Kategoris
Untuk
memahami pengertian suara hati, mari kita mulai dengan contoh: Suatu pagi, Yudo
dikejutkan dengan perkataan teman-temannya bahwa hari ini mereka akan mengikuti
ujian mid semester. Masalahnya adalah bahwa ia tidak siap karena tidak belajar.
Padahal ia telah berjanji kepada kedua orang tuanya akan memperbaiki nilai
semester lalu yang anjlok. Lantas terpikir olehnya untuk menyontek. Kris, teman
sebangku Yudo melihat hal itu. lalu ditegurnyalah Yudo oleh Kris. Tatapi Kris mengutarakan
masalahnya menyangkut janjinya kepada orang tua. Disini Kris bingung. Ia tidak
tahu harus berbuat apa, sebab tadi sebelum ujian, pak guru sudah mengingatkan
untuk menulis nama anak-anak yang menyontek pada kertas ujian jika barang siapa
yang melihatnya.
Dari contoh
diatas, timbul pertanyaan. Apa itu suara hati? Pada Kris suara hati menyatakan
diri tentang apa yang menjadi kewajibannya berhadapan dengan masalah konkret
yang dihadapinya. Secara moral kita akhirnya harus memutuskan sendiri apa yang
kita lakukan. Kita tidak dapat mengatakan melemparkan tanggung jawab itu kepada
orang lain. Kita tidak boleh begitu saja melihat dan membiarkan sesuatu hal
yang tidak beres terjadi. Padahal kita mengetahuinya dan setiap manusia dalam
hatinya memiliki suatu kesadaran tentang apa yang menjadi tangung jawab dan
kewajibannya. Kita sadar apapun resikonya, dimarah atau dijauhi sebagai
pelapor, kita selalu wajib untuk mengambil sikap yang menjadi kewajiban dan
tangungjawab. Maka kalau dirumuskan kembali, suara hati adalah kesadaran dalam
batin saya bahwa saya berkewajiban mutlak untuk selalu menghendaki bahwa saya
berkewajiban mutlak untuk selalu menghendaki apa yang menjadi kewajiban dan
tanggung jawab saya, bahwa dari kehendak itulah tergantung kebaikan saya
sebagai manusia, dan hanya saya sendirilah yang berhak untuk mengetahui
kewajiban dan tanggunjawab saya itu. secara singkat dapat dikatakan demikian.
Suara hati adalah kesadaran saya akan kewajiban dan tanggungjawab saya sebagai
manusia dalam situasi konkrit. Berbeda dengan perintah bersyarat (imperatif hipotesis), menurut Kant, perintah
bersyarat itu tuntutan moralnya bersifat tak bersyarat atau absolut. Misalnya tuntutan
jangan berbohong. Berlaku bagitu saja, tanpa pengecualian. Perintah itu mutlak.
Artinya tidak bersyarat. Suatu kewajiban moral berlaku entah menguntungkan atau
tidak, mengenakan atau tidak, dipuji atau malah dihina, mau tidak mau harus
mau. Bahwa kalau saya sudah menyadarinya sebagai suatu kewajiban maka harus
saya lakukan karena kewajiban itu berlaku mutlak.
Kemutlakan
tuntutan suara hati tidak berarti bahwa suara hati itu pasti betul. Suara hati
pun berdasarkan pada penilaian-penilaian kita dan penilaian manusia tidak
pernah seratus persen. Pegertian manusia terkadang kurang lengkap, berat sebelah
atau terkadang dapat salah. Maka yang mutlak dalam suara hati adalah tuntutan
untuk tidak pernah menyeleweng dari apa yang kita sadari sebagai kewajiban
kita.
Refleksi
Kritis Pribadi
Imperatif
kategoris Kant merupakan kemutlakan yang radikal. Apabila hal ini diinterpretasikan
didalam kehidupan konkret khususnya kalau berhubungan dengan suara hati akan
terasa sulit. Mengapa? Karena meskipun setiap orang mendengar bisikan hati
nuraninya, dia masih memiliki kemungkinan untuk dapat keliru dalam tindakannya,
perkataan, dan perutusannya setiap hari. Disadari pula bahwa kesadaran itu
lemah karena sering situasi batin seseorang mengalami benturan-benturan, dimana
di dalam menghadapi masalah, sering terjebak di dalam suara hati yang bimbang
atau ragu, kacau ataupun cemas tanpa alasan. Misalnya kita bimbang lantaran sesuatu
dirasa tidak pasti di dalam tindakan, tidak tahu apa yang mau diputuskan ataupun
karena kenyataan hidup tiap hati tidak mendukung. Maka hal ini akan semakin
sulit karena butuh banyak pertimbangan. Mungkin dapat dicari solusinya seperti
lewat doa atau meditasi atau mohon bantuan orang yang bijaksana, bekerjasama
dengan orang lain, mempelajari akar masalah. Tapi apakah itu akan berhasil? Jawabannya
tergantung. Tergantung pada diri kita sebagai orang yang memiliki suara hati.
Ada orang yang mengatakan suara hati adalah suara Tuhan (the Voice of God)
karena itu hendaknya semua tindakan manusia mengungkapkan bisikan suara Allah.
Tentunya sesuai dengan hukum suara hati yaitu berbuat baik dan menghindari yang
jahat.
DAFTAR PUSTAKA
Suseno Frans-Magnis, Etika
Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Dr. Subaedei, M. Ag. P. Ad. Dkk, Filsafat Barat, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007.
Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Smith, Linda dan Reaper, William, Ide-Ide, Yogyakarta: Kanisius, 2000.